Fakultas Ushuluddin dan Humaniora
Universitas Islam Negeri Walisongo
Semarang 2016
Takwil
Pengertian Takwil
Kata takwil merupakan masdar dari awwala,
yaitu awwala, yu’awwila, ta’wil. Secara bahasa, ia berarti rujuk (kembali)
kepada asal. Sedangkan takwil menurut istilah berarti memalingkan suatu lafal
dari makna zahir kepada makna yang tidak zahir yang juga dikandung oleh lafal
tersebut, jika kemungkinan makna itu sesuai dengan Al-kitab dan Sunnah.[1]
Contoh Takwil Al-Qur’an
Takwil difahamkan dari ayat dengan
mempergunakan undang-undang bahasa Arab.
Umpamanya firman Allah Q.S Al-An’am : 95
“Sesungguhnya Allah
menumbuhkan butir tumbuh-tumbuhan dan biji buah-buahan. dia mengeluarkan yang
hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup. (yang memiliki
sifat-sifat) demikian ialah Allah, Maka Mengapa kamu masih berpaling?”[2]
Dari ayat diatas maka dapat di takwilkan bahwa
jika kita katakan bahwa yang dikehendaki oleh ayat ini, mengeluarkan burung
dari telur, dinamailah ia tafsir. Dan jika dikatakan bahwa yang dikehendaki,
mengeluarkan yang ‘alim dari yang bodoh, atau yang beriman dari yang kafir,
dinamailah takwil.
Contoh takwil, firman Allah dalam
surah Al-Baqarah ayat 2 yang berbunyi: lâ rayba fîhi (tidak ada keraguan di dalamnya). Jika
diartikan, “tidak ada keraguan di kalangan kaum yang beriman” maka ini adalah
takwil (Al-Qurthubi, Al-Jâmi‘ li Ahkâm al-Qur’ân, IV/15-16).
Contoh lain, misalkan firman Allah dalam
surah al-An’am ayat 95 yang berbunyi: yukhrij al-hayya min al-mayyit (Allah mengeluarkan yang
hidup dari yang mati). Jika diartikan Allah mengeluarkan orang Mukmin dari
orang kafir atau orang berilmu dari orang bodoh maka ini takwil (Al-Jurjani, At-Ta‘rifât,
hlm. 50-51).[3]
Contoh lain, firman Allah dalam surah
al-Fajr ayat 14 yang berbunyi: Inna Rabbaka labil mirshâd (Sesungguhnya Tuhanmu
benar-benar mengawasi). Jika diartikan, Allah memperingatkan para hamba-Nya
yang telah meremehkan dan melalaikan perintah Allah, maka ini adalah takwil
(As-Suyuthi, Al-Itqân,
I/173).[4]
Ruang Lingkup Takwil
Asy-Syaukani[5],
dalam kitab Irsyâd al-Fuhûl halaman 176, menjelaskan bahwa ada 2 (dua)
ruang lingkup takwil (majâl al-ta’wîl):
- Dalam kebanyakan masalah-masalah furû‘ (cabang), yakni dalam nash-nash yang berkaitan dengan hukum-hukum syariat (yang bersifat zhanni). Takwil dalam ruang lingkup ini tidak diperselisihkan lagi bolehnya di kalangan ulama.
- Dalam masalah-masalah ushûl (pokok), yakni nash-nash yang berkaitan dengan akidah. Misalkan, nash tentang sifat-sifat Allah Swt., bahwa Allah itu mempunyai yad (tangan), wajh (wajah), dan sebagainya (Az-Zuhaili, 2001: 314).
Dalam takwil di bidang akidah itu, menurut Asy-Syaukani, terdapat
tiga mazhab:
- Mazhab yang berpendapat bahwa nash tidak boleh ditakwil dan harus dipahami secara lahiriahnya. Inilah pendapat Musyabihah (golongan yang menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk).
- Mazhab yang berpendapat bahwa nash akidah ada takwilnya, tetapi yang tahu takwilnya hanya Allah saja (QS Ali Imran [3]: 7). Jadi nash tidak boleh ditakwilkan seraya tetap memurnikan akidah dari tasybîh (menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk) dan ta’thîl (meniadakan sifat-sifat Allah).
- Mazhab yang berpendapat bahwa nash akidah boleh ditakwilkan. Inilah mazhab al-Maturidiah, Ibn al-Jauzi, dan al-Ghazali.
Ibn Burhan memandang mazhab pertama adalah batil, sedangkan madzhab
kedua dan ketiga diriwayatkan keberadaannya dari para sahabat. Mazhab kedua
disebutnya mazhab salafush shâlih, sedang mazhab ketiga diriwayatkan
dari Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas (dalam satu riwayat), dan Ummu Salamah (Asy-Syaukani,
Irsyâd al-Fuhûl, hlm. 176; Al-Husaini, Zubdah al-Itqân, hlm.
74-75).
Syarat-Syarat Takwil
Para ulama ushul telah menetapkan syarat-syarat takwil agar takwil yang
dihasilkan dapat diterima (maqbûl) dan sahih. Ada 4 (empat) syarat, yaitu:
1. Takwil yang dihasilkan harus sesuai dengan makna bahasa
Arab, makna syariat, atau makna ‘urfi (makna kebiasaan orang Arab).
Misalnya, takwil kata qurû‘ (dalam QS al-Baqarah [2]: 228) dengan arti
haid atau suci adalah takwil sahih, karena sesuai dengan makna bahasa Arab
untuk qurû’. Takwil yang tidak sesuai makna bahasa, syariat, atau ‘urfi,
tidak diterima (Asy-Syaukani, Irsyâd al-Fuhûl, hlm. 177).
2. Takwil harus berdasarkan dalil yang sahih dan râjih
(kuat), misalkan mengkhususkan nash umum berdasarkan dalil pengkhusus (takhshîsh),
atau memberikan batasan (taqyîd) nash mutlak berdasarkan dalil yang
men-taqyîd-kan. Karena itu, takwil yang tanpa dalil, atau dengan dalil
tetapi dalilnya marjûh (lemah), atau musawi (sederajat
kekuatannya) dengan kata yang ditakwil, tidak diterima (Al-Amidi, Al-Ihkâm,
III/38).[6]
3. Kata yang ada memang memungkinkan untuk ditakwil (qâbil
li at-ta’wîl). Misalkan, katanya adalah kata umum yang dapat di-takhshîsh,
atau kata mutlak yang dapat diberi taqyîd, atau kata bermakna hakiki
yang dapat diartikan secara makna majazi (metaforis), dan sebagainya.
Karena itu, jika takwil dilakukan pada nash khusus (bukan nash umum), tidak
diterima (Az-Zuhaili, Ushûl al-Fiqh al-Islâmi, I/314).[7]
4. Orang yang menakwil memiliki kapasitas keilmuan untuk
melakukan takwil (Al-Amidi, Al-Ihkâm, III/38). Karena itu, takwil yang
dilakukan orang bodoh (jâhil) dalam bahasa Arab atau ilmu-ilmu syariat (al-ma‘ârif
al-syar‘îyyah) tidak dapat diterima. Sebab, orang yang hendak melakukan
takwil haruslah berkualifikasi mujtahid yang memiliki bekal ilmu-ilmu bahasa
Arab dan ilmu-ilmu syariat (Az-Zuhaili, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî,
I/314).
[1]
Kadar M. Yusuf, Studi Al-Qur’an, (
Jakarta : Amzah, 2009 ), hal. 128
[2]
Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya, (Bandung :
CV. J-ART, 2005), hal. 140
[3]
Al-Jurjani. t.t. At-Ta’rîfât.
Singapura-Jeddah: Al-Haramayn.
[4]
As-Suyuthi, Jalaluddin, t.t. Al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân. Juz
I. Beirut: Dar al-Fikr.
[5]
Asy-Syaukani, t.t. Irsyâd al-Fuhûl ilâ Tahqîq al-Haqq min
‘Ilm al-Ushûl. Beirut: Dar al-Fikr.
[7]
Az-Zuhaili, Wahbah. 2001. Ushûl al-Fiqh al-Islâmi. Juz
I. Beirut: Dar al-Fikr.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar