Kamis, 09 Juni 2016

maturidiyah



Disusun oleh               : Andini Rahma Septianing (1504026102)
Fakultas Ushuluddin dan Humaniora
Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang 2016

 
MATURIDIYAH
Pengertian aliran maturidiyah
Berdasarkan buku Pengantar Teologi Islam, aliran Maturidiyah diambil dari nama pendirinya yakni Abu Mansur Muhammad bin Muhammad.[1] Disamping itu, dalam buku terjemahan oleh Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib menjelaskan bahwa pendiri aliran maturidiyah yakni Abu Manshur al-Maruridi, kemudian namanya dijadikan sebagai nama aliran ini.[2]
Definisi dari aliran maturidiyah adalah aliran kalam yang dinisbatkan kepada Abu Mansur al-Maturidi yang berpijak kepada penggunaan argumentasi dan dalil aqli kalami. Sejalan dengan itu juga, aliran maturidiyah merupakan aliran teologi dalam islam yang didirikan oleh Abu Mansur Muhammad al-Maturidiyah dalam kelompok Ahli Sunnah Wal Jamaah yang merupakan ajaran teknologi yang bercorak rasional.
Jika dilihat dari metode berfikir dari aliran maturidiyah, aliran ini merupakan aliran yang memberikan otoritas yang besar kepada akal manusia, tanpa berlebih-lebihan atau melampaui batas,[3] maksudnya aliran maturidiyah berpegang pada keputusan akal pikiran dalam hal-hal yang tidak bertentangan dengan syara’. Sebaliknya jika hal itu bertentangan dengan syara’, maka akal harus tunduk kepada keputusan syara’.[4]
Dalam menfsirkan Al-Qur’an al-Maturidi membawa ayat-ayat yang mutasyabihat (samar maknanya) pada makna yang muhkam (terang dan jelas pengertiannya). Ia mentawilkan yang mutasyabihberdasarkan pengertian yang ditunjukkan oleh yang muhkam. Jika seorang mukmin tidak mempunyai kemampuan untuk mentawilkannya, maka bersikap menyerah adalah lebih selamat.[5]
Jadi dalam menawilkan Al-Qur’an, al-Maturidi sangat berhati-hati walaupun beliau menjadikan akal suatu kewajiban dalam penafsiran suatu ayat. Dapat disimpulkan bahwa aliran maturidiyah merupakan aliran yang namanya diambil dari nama pendirinya yakni al-Maturudi. Aliran ini mengunakan akal dalam analogi pemikiran atau penafsiran ayat[6], namun hal itu bukan menjadi hal yang mutlak karena apabila terdapat keputusan akal yang bertentangan dengan syara’, maka itu ditolak.
Sejarah Aliran Maturidiyah
Dalam buku teologi islam, Aliran-aliran Sejarah Analisa perbandingan (Harun Nasution, 76) menyebutkan bahwa Abu Manshur Muhammad Ibn Muhammad Ibn Mahmud al-Maturidi lahir di Samarkand pada pertengahan ke 2 dari abad ke 9 M dan meninggal ditahun 944 M.[7] Tidak banyak diketahui mengenai riwayat hidupnya. Ia adalah pengikut Abu Hanifah dan paham-paham teologinya banyak persamaannya dengan paham-paham yang dimajukan Abu Hanifah. Sistem pemikiran teologi yang ditimbulkan Abu Mansur termasuk dalam golongan teologi ahli sunnah dan dikenal dengan al-Maturidiyah.[8] Abu Mansur al-Maturidi mencari ilmu pada pertiga terakhir dari abad ke 3 hijrah,[9] dimana aliran Mu’tazilah sudah mengalami kemundurannya, dan diantara gurunya adalah Nasr bin Yahya al-Balakhi (wafat 268H).[10] Karir pendidikan Al-Maturidiyah lebih dikonsentrasikan untuk menekuni bidang teologi dari pada fiqih. Pemikiran-pemikirannya banyak dituangkan dalam bentuk karyatulis, diantaranya adalah kitab Tauhid, Tawil Al-Quran Makhas, Syarai, Al-jald, dll. Selain itu ada pula karangan yang ditulis oleh Al-Maturidi yaitu Al-aqaid dan sarah fiqih. Negeri Samarkand pada saat itu merupakan tempat diskusi dalam ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. Diskusi dibidang Fiqh berlangsung antara pendukung mazhab Hanafi dan pendukung mazhab Syafi’i.[11] Aliran Maturidiyah merupakan salah satu dari sekte Ahl al-Sunnah wal-Jama’ah yang tampil bersama dengan Asy’ariyah. Kedua aliran ini datang untuk memenuhi kebutuhan mendesak yang menyerukan untuk menyelamatkan diri dari ekstrimitas kaum rasionalis (Mu’tazilah), maupun ekstrimitas kaum tekstualis (Hanabillah, para pengikut Imam Ibnu Hambal).[12] Pada awalnya kedua aliran ini dipisahkan oleh jarak : aliran Asy’ariyah di Irak dan Syam(Suriah) kemudian meluas ke Mesir, sedangkan aliran Maturidiyah di Samarkand dan di daerah-daerah diseberang sungai (Oxus-pen). Orang-orang Hanafiah (para pengikut Imam Hanafi) membentengi aliran Maturidiyah, dan para pengikut Imam al-Syafi’I dan Imam al-Malik mendukung kaum Asy’ariyah.[13]
Seperti yang kita ketahui, al-Maturidi lahir dan hidup ditengah-tengah iklim keagamaan yang penuh dengan pertentangan pendapat antara Mu’tazilah (aliran yang amat mementingkan akal dalam memahami ajaran agama) dan Asy’ariyah (aliran yang menerima rasional dan dalil wahyu) sekitar masalah kemampuan akal manusia. Maka dari itu, Al-Maturidi melibatkan diri dalam pertentangan itu dengan memajukan pemikiran sendiri. Pemikirannya itu merupakan jalan tengah antara aliran Mu’tazilah dan Asy’ariyah. Karena itu juga, aliran Maturidiyah sering disebut ’’berada antara teologi Mu’tazilah dan Asy’ariyah ’’. Salah satu pengkut penting dari al-Muturidi adalah Abu al-Yusr Muhammad al-Bazdawi (421-493H). Nenek al-Bazdawi adalah murid dari al-Maturidi, dan al-Bazdawi mengetahui ajaran-ajaran al-Maturidi dari orang tuanya. Al-Bazdawi sendiri mempunyai murid-murid dan salah seorang dari meraka ialah Najm al-Din Muhammad al-Nasafi (460-537H).[14] Terdapat pemikiran al-Bazdawi yang tidak sepaham dengan al-Maturudi, sehingga boleh dikatakan bahwa dalam aliran Maturidiyah terdapat dua golongan : golongan Samarkand yaitu pengikut-pengikut al-Maturidi sendiri, dan golongan Bukhara yaitu pengikut-pengikut al-Bazdawi.[15]
Dapat disimpulkan bahwa aliran Maturidiyah merupakan aliran dari sekte Ahl al-Sunnah wal al-Jama’ah yang pada mulanya aliran ini berakar dari pemikian Abu Mansur al-Maturidi. Berajak dari pemikiran-pemikiran al-Maturidi ini lah aliran ini berkembang. Sehingga pengikut aliran ini disebut aliran Maturidiyah yang diambil dari nama pendirinya sendiri. Pada mulanya, aliran ini masih teguh pada pemikiran dari pendirinya (al-Maturidi). Namun jauh setelah al-Maturidi meninggal, yakni cucu dari salah seorang murid al-Maturidi, al-Bazdawi memberikan pemahaman yang bertentangan dengan pemikiran al-Maturidi. Sehingga banyak hal yang berbeda dalam konsep ajaran yang diberikan oleh pendirinya dengan pemikiran al-Bazdawi itu sendiri. Dengan adanya perbedaan tersebut, aliran Maturidiyah terpecah menjadi dua golongan besar yaitu pengikut setia al-Maturidiyang akhirnya disebut Maturidiyah Samarkand dan pengikut al-Bazdawi yang disebut dengan Maturidiyah Bukhara.
Tokoh dan Ajaran Aliran Maturidiyah
Tokoh yang sangan penting dari aliran Al-Maturidiyah adalah Abu Al-Yusr Muhammad Al-Bazdawi yang lahir pada tahun 421H dan meninggal pada tahun 493H. Ajaran-ajaran Al-Maturidiyah yang dikuasainya adalah karena neneknya adalah murid dari Al-Maturidi.
Al-Badzawi sendiri mempunyai beberapa orang murid, yang salah satunya adalah Najm al-Din Muhammad al-Nasafi (460-537H), pengarang buku al-Aqaidal Nasafiah.[16]
Konsep pemikiran al-maturidiyah yakni kewajiban marifah terhadap Allah.  Ditemukan berdasarkan penalaran akal, sebagaimana Allah telah memerintahkan untuk melakukan penalaran dalam sejumblah ayat Al-Quran.  Allah memerintahkan kepada manusia untuk berpikir mengenai kerajaan langit dan bumi dan memberikan pengarahan kepada manusia bahwa sekira akal pikiran diarahkan secara konsisten, terlepas dari hawa nafsu dan taklid.[17] Sesuai dengan firman Allah :
Artinya :
Dan dia telah menundukkan untukmu apa yang dilangitdan apa yang dibumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda ( kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir. (QS. Al-Jaatsiyah, 45:13)[18]
Maka dari itu, al-maturidi memberikan kontribusi pemikirannya yakni :
·         Mengenai sifat-sifat Allah
Aliran Asyariah mengatakan sifat-sifat Allah merupakan sesuatu yang berada diluar Dzat. Mereka juga menetapkan adanya qudrah, iradah, ilm, bayah, sama, basher dan kalam pada Dzat Allah. Semua itu merupakan sesuatu diluar Dzat-Nya. Mutazilah mengatakan bahwa tidak ada sesuatu diluar Dzat-Nya. Adapun yang disebutkan dalam Al-Quran, seperti  alim (Maha Mengetahui), khabir (Maha Mengenal), hakim (Maha Bijaksana), bashir (Maha Melihat), Merupakan nama-nama bagi Dzat Allah.[19] Kemudian al-Maturidi menetapkan sifat-sifat itu bagi Allah, tetapi ia mengatakan bahwa sifat-sifat itu bukanlah sesuatu diluar Dzat-Nya, bukan pula sifat-sifat yang berdiri pada Dzat-Nya dan tidak pula terpisah dari Dzat-Nya.[20]
Al-Maturidi menetapkan bahwa Allah Maha Suci dari antropomorfisme (menyerupai bentuk manusia) dan dari mengambil ruang dan waktu. Terhadap ayat-ayat yang mengandung makna sifat-sifat, seperti pernyataan bahwa Allah mempunyai wajah, tangan, mata dan lainnya, maka al-maturidi berdiri pada posisi pentawil dan berjalan diatas prinsipnya, yaitu membawa ayat-ayat yang mutasyabih kepada yang muhkam.[21]
Misalnya, pada firman Allah :
Artinya:
Lalu Dia bersemayam diatas Arsy…. (QS. Al-Araf 7:54)[22]
Ia menafsirkan bahwa Allah menuju Arsy dan menciptakannya dalam keadaan rata, lurus dan teratur.[23]
Menurutut al-Maturidi dalam memahami sifat-sifat Allah hamper sependapat dengan aliran Mutazilah, yang mengatakan bahwa antara Dzat dan sifat-sifat Allah tidak terpisah.
·         Melihat Tuhan
Ada beberapa nash Al-Quran yang menegaskan bahwa Allah dapat dilihat, seperti firman Allah :
Artinya :
Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat (QS.Al-Qiyamah 75:22-23)[24]
Berdasarkan firman tersebut, maturidi menetapkan bahwa Allah dapat dilihat pada hari kiamat. Ini dikarenakan pada hari kiamat itu meupakan salah satu keadaan khusus.[25] Karena pada hari kiamat manusia akan berjumpa atau melihat Allah (bagi orang-orang yang beriman). Namun dalam hal sifat dan bagaimana bentuk Allah hanya Dialah yang mengetahui, sebagaimana kita tidak mengetahui kapan terjadinya hari kiamat.
·         Pelaku dosa besar
Maturidi mengatakan bahwa orang mukmin yang berdosa adalah menyerahkan persoalan mereka kepada Allah. Dengan demikian, orang mukmin berada diantara harapan dan kecemasan. Allah boleh saja menghukum dosa kecil dan mengampuni dosa besar,[26] Sebagaimana Allah telah berfirman :
Artinya :
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, Maka sesungguhnya ia telah berbuat dosa yang besar (QS.An-Nisa 4:48)[27]
Persamaan aliran maturidiyah, baik Samarkand maupun Bukhara, yakni :
·         Mengenai pelaku dosa besar
Aliran maturidiyah, baik Samarkand maupun Bukhara, sepakat bahwa pelaku dosa besar masih tetap mukmin karena adanya keimanan dalam dirinya. Adapun balasan yang diperolehnya kelak diakherat tergantung apa yang dilakukannya didunia.[28]
Hal ini kaerena Allah telah menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya. Kekal di dalam neraka adalah balasan untuk orang musyrik. Sesuai dengan firman Allah dalam Al-Quran Surrah An-Nissa:48
·         Mengenai iman dan kufur
Aliran Maturidiyah Samarkand berpendapat bahwa iman adalah tashdiq bi al-qalb, bukan semata-mata iqrar bi al-lisan.[29] Sesuai dengan (QS.Al-Hujurat 49:14)[30]
Ayat tersebut dipahami sebagai penegasan bahwa keimanan itu tidak cukup hanya perkataan semata, tanpa diimani pula oleh kalbu. Apa yang diucapkan oleh lidah dalam bentuk pernyataan iman, menjadi batal bila hati tidak mengakui ucapan lidah.[31]
·         Mengenai perbuatan Tuhan
Aliran Maturidiyah Samarkand, berpendapat bahwa perbuatan Tuhan hanya menyangkut hal-hal yang baik saja. Demikian juga pengiriman rasul dipandangan Maturidiyah Samarkand sebagai kewajiban Allah.[32]
Aliran Maturidiyah Bukhara memiliki pandangan yang sama dengan Asyariah, bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Bazdawi, Tuhan pasti menempati janji-Nya.
·         Mengenai perbuatan Manusia
Maturidiyah Samarkand, adalah kehendak dan daya manusia dalam arti kata sebenarnya dan bukan dalam arti kiasan, maksudnya daya untuk berbuat tidak diciptakan sebelumnya, tetapi bersama-sama dengan perbuatannya. Sedangan maturidiyah bukharah memberikan tambahan dalam masalah daya. Manusia tidak mempunyai daya untuk melakukan perbuatan,  hanya Allah lah yang dapat mencipta, dan manusia hanya dapat melakukan perbuatan yang telah diciptakan Allah bagi-Nya.[33]
Jadi menurut al-maturidi perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan karena segala sesuatu dalam wujud ini adalah ciptaan-Nya. Dalam hal ini, Al-Maturidi mempertemukan antara ikhtiar sebagai perbuatan manusia dan qudrat Tuhan sebagai pencipta perbuatan manusia.[34]
·         Mengenai sifat-sifat Tuhan
Maturidiyah Bukhara berpendapat Tuhan tidaklah mempunyai sifat-sifat jasmani. Ayat-ayat Al-Quran yang menggambarkan Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani haruslah diberi tawil.[35]
Sedangkan golongan Samarkand mengatakan bahwa sifat bukanlah Tuhan. Dalam menghadapi ayat-ayat yang memberi gambaran Tuhan bersifat dengan menghadapi jasmani ini. Al-Maturidi mengatakan bahwa yang dimaksud dengan tangan, muka, mata, dan kaki adalah kekuasaan Tuhan.[36]
·         Kalam Tuhan
Al-Maturidi membedakan antara kalam yang tersusun dengan huruf dan bersuara dengan kalam nafsi (sabda yang sebenarnya atau kalam abstrak). Kalam nafsi adalah sifat qadim bagi Allah, sedangkan kalam yang tersusun dari huruf dan suara adalah baharu (hadist). Kalam nafsi tidak dapat kita ketahui hakikatnya bagaimana allah bersifat dengannya (bila kaifa) tidak diketahui, kecuali dengan suatu perantara.[37]
·         Mengenai kehendak mutlak Tuhan dan keadilan Tuhan
Menurut Maturidiyah Samarkand, dibatasi oleh keadilan Tuhan. Tuhan adil mengandung arti bahwa segala perbuatannya adalah baik dan tidak mampu untuk berbuat buruk serta tidak mengabaikan kewajiban-kewajiban-Nya terhadap manusia. Adapun Maturidiyah Bukhara berpendapat bahwa Tuhan memiliki kekuasaan mutlak. Tuhan berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya dan menentukan segala-galanya. Tidak ada yang menentang atau memaksa Tuhan dan tidak ada larangan bagi Tuhan.[38]
Aliran-aliran Maturidiyah
·         Golongan Samarkand (al-maturidi)
Yang menjadi golongan ini adalah pengikut Al-Maturidi sendiri. Golongan ini cenderung ke arah faham Asyariyah (mutazilah), sebagaimana pendapatnya tentang sifat-sifat Tuhan. Dalam hal perbuatan manusia, maturidi sependapat dengan Mutazilah, bahwa manusialah yang sebenarnya mewujudkan perbuatannya. Al-Maturidi berpendapat bahwa Tuhan memiliki kewajiban-kewajiban tertentu. Menurut maturidi, tuhan mempunyai sifat-sifat, tuhan mengetahui bukan dengan zatnya melainkan dengan pengetahuannya.  Aliran maturidi juga sepaham denga mutazilah dalam soal al-waid wa al-waid. Bahwa janji dan ancaman tuhan, kelak pasti terjadi.[39]
·         Golongan Bukhara (al-bazdawi)
Golongan ini dipimpin oleh Abu Al-Yusr Muhammad Al-Bazdawi.  Dia merupakan pengikut Maturidi yang penting dan penerus yang baik dalam  pemikirannya. Nenek Al-Bazdawi menjadi salah satu murid Maturidi. Jadi yang dimaksud dengan golongan Bukhara adalah pengikut-pengikut Al-Bazdawi dalam aliran Al-Maturidiyah. Walaupun sebagai pengikut aliran Al-Maturidiyah, Al-Bazdawi selalu sefaham dengan maturidi. Ajaran teologinya banyak dianut oleh umat islam yang bermazhab Hanafi. Dan hingga saat ini pemikiran-pemikiran Al-Maturidiyah masih hidup dan berkembang dikalangan umat islam.[40]
Aliran maturidiyah Bukhara lebih dekat kepada Asyariyah sedangkan aliran Maturidiyah Samarkand dalam beberapa hal lebih dekat kepada Mutazilah, terutama dalam masalah keterbukaan terhadap peranan akal.[41]
Urutan-urutan maturidiyah lebih mendekati golongan Mutazilah, menurut kebebasan pemikirannya, maka dapat diurutkan sebagai berikut[42] :
·         Aliran Mutazilah
·         Aliran Maturidiyah
·         Aliran Asyariyyah dan
·         Aliran Ahli Hadist
Karya Aliran Al-Maturidiyah
·         Buku Tauhid
Buku ini untuk membuktikan kebenaran pendapatnya, ia menggunakan Al-Quran, hadis dan akal, dan terkadang memberikan keutamaan yang lebih besar kepada akal.
·         Ta’wilat Ahli Sunnah
Buku ini berkenaan dengan tafsir Al-Quran dan didalamnya dijelaskan tentang keyakinan-keyakinan Ahlu Sunnah dan pandangan-pandangan fikih imam mazhabnya yaitu Abu Hanifah, pada hakikatnya adalah buku aqidah dan fikih. Buku ini juga merupakan satu paket tafsir Al-Quran dan buku tersebut mencakup juz terakhir Quran dari surat Munafiqin sampai akhir Quran.
Al Maqalat, peneliti buku At-Tauhid berkata bahwa naskah buku ini ada dibeberapa perpustakaan Eropa. Akan tetapi karya-karya lainnya dan nama-namanya tercantum dibuku-buku terjermahan di antaranya adalah :
·         Akhdzu Al Syarai
·         Al Jadal fi Ushul Al Fiqh
·         Bayan wa Hum Al Mutazilah
·         Rad Kitab Al Ushul Al Khomsah lil Bahili
·         Rad Al Imamah li badzi Al Rawafidz
·         Al Rad ala Ushu Al Qaramathah
·         Rad Tahdzib Al Jadal Lil Kabi
·         Rad wa Aid Al Fisaq lil Kabi
·         Rad Awail Al Adilah lil Kabi


[1] A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam ( Cet. 1, Jakarta, Pustaka Al Husna Baru Jakarta, 2003), hlm. 167
[2] Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam (Jakarta, Logos Publishing House, 1996), hlm. 207
[3] A. Hanafi, Op. Cit, hlm. 210
[4] Ibid, hlm. 211
[5] Ibid, hlm. 212
[6] Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI Press, 1986, hlm. 77
[7] Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, op. cit, hlm. 124
[8] Harun Nasution, Teoli Islam, Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta, UI-Press, 1986), hlm. 76
[9] A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam (Jakarta: Pustaka Husna Baru, 2003), hlm. 168
[10] Ibid, hlm.210
[11] Abd. Rahman Dahlan, Op. Cit, hlm.212
[12] Yudian Wahyu Assmin, Aliran dan Teori Filsafat Islam (Jakarta, Bumi Aksara, 2004), cet. 3, hlm. 80-81
[13] Ibid, hlm. 81
[14] Harun Nasution, Op. Cit, hlm.77
[15] Ibid, hlm.78
[16] Harun Nasution, Teologi Islam, hlm. 70
[17] Abd. Rahman Dahlan,Op. Cit, hlm. 212-213
[18] Dapartermen Agama Republik Indonesia, Al-Quran dan Terjermahannya (Jakarta: CV Penerbit  J-ART, 2005), hlm. 499
[19] Abd. Rahman Dahlan,Op. Cit, hlm.218
[20] Ibid,
[21] Ibid, hlm. 219
[22] Dapartermen Agama Republik Indonesia, Op. Cit, hlm. 157
[23] Abd. Rahman Dahlan,Op. Cit, hlm.219
[24] Dapartermen Agama Republik Indonesia, Op. Cit, hlm. 578
[25] Abd. Rahman Dahlan,Op. Cit, hlm.220
[26] Ibid, hlm. 222
[27] Dapartermen Agama Republik Indonesia, Op. Cit, hlm. 86
[28] Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hlm. 138
[29] Abdul Rozak, Op. Cit, hlm. 149
[30] Dapartermen Agama Republik Indonesia, Op. Cit, hlm. 517
[31] Abdul Rozak, Op. Cit, hlm. 149
[32] Ibid, hlm. 157
[33] Ibid, hlm. 166
[34] Harun Nasution, Teologi Islam, hlm. 127
[35]Abdul Rozak, Op. Cit, hlm.  177-1178
[36] Ibid, hlm. 178
[37] Harun Nasution, Teologi Islam, hlm. 129
[38]Abdul Rozak, Op. Cit, hlm 187
[39] Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kakam (Bandung: Pustaka Setia,  2010), hlm.124
[40] Novan Ardy Wiyani, M.Pd.I, Ilmu Kalam (Bumiayu, 22 Januari 2013), hlm 51-60
[41] Muhammad Tholhah Hasan, swaja dalam persepsi dan tradisi NU
[42] A. Hanafi M.A, Theology Islam (Ilmu Kalam), Penerbit Bulan Bintang, Cet 1, (Yogyakarta: 8 Juni 1962), hlm. 80