Disusun oleh : Andini Rahma Septianing (1504026102)
Fakultas Ushuluddin dan Humaniora
Universitas Islam Negeri Walisongo
Semarang 2016
MATURIDIYAH
Pengertian aliran maturidiyah
Berdasarkan buku Pengantar
Teologi Islam, aliran Maturidiyah diambil dari nama pendirinya yakni Abu
Mansur Muhammad bin Muhammad.[1]
Disamping itu, dalam buku terjemahan oleh Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib
menjelaskan bahwa pendiri aliran maturidiyah yakni Abu Manshur al-Maruridi,
kemudian namanya dijadikan sebagai nama aliran ini.[2]
Definisi dari aliran maturidiyah
adalah aliran kalam yang dinisbatkan kepada Abu Mansur al-Maturidi yang
berpijak kepada penggunaan argumentasi dan dalil aqli kalami. Sejalan
dengan itu juga, aliran maturidiyah merupakan aliran teologi dalam islam yang
didirikan oleh Abu Mansur Muhammad al-Maturidiyah dalam kelompok Ahli Sunnah
Wal Jamaah yang merupakan ajaran teknologi yang bercorak rasional.
Jika dilihat dari metode berfikir
dari aliran maturidiyah, aliran ini merupakan aliran yang memberikan otoritas
yang besar kepada akal manusia, tanpa berlebih-lebihan atau melampaui batas,[3]
maksudnya aliran maturidiyah berpegang pada keputusan akal pikiran dalam
hal-hal yang tidak bertentangan dengan syara’. Sebaliknya jika hal itu
bertentangan dengan syara’, maka akal harus tunduk kepada keputusan syara’.[4]
Dalam menfsirkan Al-Qur’an
al-Maturidi membawa ayat-ayat yang mutasyabihat (samar maknanya) pada
makna yang muhkam (terang dan jelas pengertiannya). Ia mentawilkan yang
mutasyabihberdasarkan pengertian yang ditunjukkan oleh yang muhkam. Jika
seorang mukmin tidak mempunyai kemampuan untuk mentawilkannya, maka bersikap
menyerah adalah lebih selamat.[5]
Jadi dalam menawilkan Al-Qur’an,
al-Maturidi sangat berhati-hati walaupun beliau menjadikan akal suatu kewajiban
dalam penafsiran suatu ayat. Dapat disimpulkan bahwa aliran maturidiyah
merupakan aliran yang namanya diambil dari nama pendirinya yakni al-Maturudi.
Aliran ini mengunakan akal dalam analogi pemikiran atau penafsiran ayat[6],
namun hal itu bukan menjadi hal yang mutlak karena apabila terdapat keputusan
akal yang bertentangan dengan syara’, maka itu ditolak.
Sejarah Aliran Maturidiyah
Dalam buku teologi islam,
Aliran-aliran Sejarah Analisa perbandingan (Harun Nasution, 76) menyebutkan
bahwa Abu Manshur Muhammad Ibn Muhammad Ibn Mahmud al-Maturidi lahir di Samarkand
pada pertengahan ke 2 dari abad ke 9 M dan meninggal ditahun 944 M.[7]
Tidak banyak diketahui mengenai riwayat hidupnya. Ia adalah pengikut Abu
Hanifah dan paham-paham teologinya banyak persamaannya dengan paham-paham yang
dimajukan Abu Hanifah. Sistem pemikiran teologi yang ditimbulkan Abu Mansur
termasuk dalam golongan teologi ahli sunnah dan dikenal dengan al-Maturidiyah.[8]
Abu Mansur al-Maturidi mencari ilmu pada pertiga terakhir dari abad ke 3
hijrah,[9]
dimana aliran Mu’tazilah sudah mengalami kemundurannya, dan diantara gurunya
adalah Nasr bin Yahya al-Balakhi (wafat 268H).[10]
Karir pendidikan Al-Maturidiyah lebih dikonsentrasikan untuk menekuni bidang
teologi dari pada fiqih. Pemikiran-pemikirannya banyak dituangkan dalam bentuk
karyatulis, diantaranya adalah kitab Tauhid, Tawil Al-Quran Makhas, Syarai,
Al-jald, dll. Selain itu ada pula karangan yang ditulis oleh Al-Maturidi yaitu
Al-aqaid dan sarah fiqih. Negeri Samarkand pada saat itu merupakan tempat
diskusi dalam ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. Diskusi dibidang Fiqh berlangsung
antara pendukung mazhab Hanafi dan pendukung mazhab Syafi’i.[11]
Aliran Maturidiyah merupakan salah satu dari sekte Ahl al-Sunnah wal-Jama’ah
yang tampil bersama dengan Asy’ariyah. Kedua aliran ini datang untuk memenuhi
kebutuhan mendesak yang menyerukan untuk menyelamatkan diri dari ekstrimitas
kaum rasionalis (Mu’tazilah), maupun ekstrimitas kaum tekstualis (Hanabillah,
para pengikut Imam Ibnu Hambal).[12]
Pada awalnya kedua aliran ini dipisahkan oleh jarak : aliran Asy’ariyah di Irak
dan Syam(Suriah) kemudian meluas ke Mesir, sedangkan aliran Maturidiyah di
Samarkand dan di daerah-daerah diseberang sungai (Oxus-pen). Orang-orang
Hanafiah (para pengikut Imam Hanafi) membentengi aliran Maturidiyah, dan para
pengikut Imam al-Syafi’I dan Imam al-Malik mendukung kaum Asy’ariyah.[13]
Seperti yang kita ketahui,
al-Maturidi lahir dan hidup ditengah-tengah iklim keagamaan yang penuh dengan
pertentangan pendapat antara Mu’tazilah (aliran yang amat mementingkan akal
dalam memahami ajaran agama) dan Asy’ariyah (aliran yang menerima rasional dan
dalil wahyu) sekitar masalah kemampuan akal manusia. Maka dari itu, Al-Maturidi
melibatkan diri dalam pertentangan itu dengan memajukan pemikiran sendiri.
Pemikirannya itu merupakan jalan tengah antara aliran Mu’tazilah dan
Asy’ariyah. Karena itu juga, aliran Maturidiyah sering disebut ’’berada antara
teologi Mu’tazilah dan Asy’ariyah ’’. Salah satu pengkut penting dari
al-Muturidi adalah Abu al-Yusr Muhammad al-Bazdawi (421-493H). Nenek al-Bazdawi
adalah murid dari al-Maturidi, dan al-Bazdawi mengetahui ajaran-ajaran
al-Maturidi dari orang tuanya. Al-Bazdawi sendiri mempunyai murid-murid dan
salah seorang dari meraka ialah Najm al-Din Muhammad al-Nasafi (460-537H).[14]
Terdapat pemikiran al-Bazdawi yang tidak sepaham dengan al-Maturudi, sehingga
boleh dikatakan bahwa dalam aliran Maturidiyah terdapat dua golongan : golongan
Samarkand yaitu pengikut-pengikut al-Maturidi sendiri, dan golongan Bukhara
yaitu pengikut-pengikut al-Bazdawi.[15]
Dapat disimpulkan bahwa aliran Maturidiyah
merupakan aliran dari sekte Ahl al-Sunnah wal al-Jama’ah yang pada mulanya
aliran ini berakar dari pemikian Abu Mansur al-Maturidi. Berajak dari
pemikiran-pemikiran al-Maturidi ini lah aliran ini berkembang. Sehingga
pengikut aliran ini disebut aliran Maturidiyah yang diambil dari nama
pendirinya sendiri. Pada mulanya, aliran ini masih teguh pada pemikiran dari
pendirinya (al-Maturidi). Namun jauh setelah al-Maturidi meninggal, yakni cucu
dari salah seorang murid al-Maturidi, al-Bazdawi memberikan pemahaman yang
bertentangan dengan pemikiran al-Maturidi. Sehingga banyak hal yang berbeda
dalam konsep ajaran yang diberikan oleh pendirinya dengan pemikiran al-Bazdawi
itu sendiri. Dengan adanya perbedaan tersebut, aliran Maturidiyah terpecah
menjadi dua golongan besar yaitu pengikut setia al-Maturidiyang akhirnya
disebut Maturidiyah Samarkand dan pengikut al-Bazdawi yang disebut dengan
Maturidiyah Bukhara.
Tokoh dan Ajaran Aliran
Maturidiyah
Tokoh yang sangan penting dari
aliran Al-Maturidiyah adalah Abu Al-Yusr Muhammad Al-Bazdawi yang lahir pada
tahun 421H dan meninggal pada tahun 493H. Ajaran-ajaran Al-Maturidiyah yang
dikuasainya adalah karena neneknya adalah murid dari Al-Maturidi.
Al-Badzawi sendiri mempunyai
beberapa orang murid, yang salah satunya adalah Najm al-Din Muhammad al-Nasafi
(460-537H), pengarang buku al-Aqaidal Nasafiah.[16]
Konsep pemikiran al-maturidiyah
yakni kewajiban marifah terhadap Allah.
Ditemukan berdasarkan penalaran akal, sebagaimana Allah telah
memerintahkan untuk melakukan penalaran dalam sejumblah ayat Al-Quran. Allah memerintahkan kepada manusia untuk
berpikir mengenai kerajaan langit dan bumi dan memberikan pengarahan kepada
manusia bahwa sekira akal pikiran diarahkan secara konsisten, terlepas dari
hawa nafsu dan taklid.[17]
Sesuai dengan firman Allah :
Artinya :
Dan dia telah menundukkan untukmu
apa yang dilangitdan apa yang dibumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (
kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir. (QS. Al-Jaatsiyah, 45:13)[18]
Maka dari itu, al-maturidi
memberikan kontribusi pemikirannya yakni :
·
Mengenai
sifat-sifat Allah
Aliran Asyariah mengatakan
sifat-sifat Allah merupakan sesuatu yang berada diluar Dzat. Mereka juga
menetapkan adanya qudrah, iradah, ilm, bayah, sama, basher dan kalam
pada Dzat Allah. Semua itu merupakan sesuatu diluar Dzat-Nya. Mutazilah
mengatakan bahwa tidak ada sesuatu diluar Dzat-Nya. Adapun yang disebutkan
dalam Al-Quran, seperti alim (Maha
Mengetahui), khabir (Maha Mengenal), hakim (Maha Bijaksana), bashir (Maha
Melihat), Merupakan nama-nama bagi Dzat Allah.[19]
Kemudian al-Maturidi menetapkan sifat-sifat itu bagi Allah, tetapi ia
mengatakan bahwa sifat-sifat itu bukanlah sesuatu diluar Dzat-Nya, bukan pula
sifat-sifat yang berdiri pada Dzat-Nya dan tidak pula terpisah dari Dzat-Nya.[20]
Al-Maturidi menetapkan bahwa
Allah Maha Suci dari antropomorfisme (menyerupai bentuk manusia) dan
dari mengambil ruang dan waktu. Terhadap ayat-ayat yang mengandung makna
sifat-sifat, seperti pernyataan bahwa Allah mempunyai wajah, tangan, mata dan
lainnya, maka al-maturidi berdiri pada posisi pentawil dan berjalan diatas
prinsipnya, yaitu membawa ayat-ayat yang mutasyabih kepada yang muhkam.[21]
Misalnya, pada firman Allah :
Artinya:
Lalu Dia bersemayam diatas Arsy….
(QS. Al-Araf 7:54)[22]
Ia menafsirkan bahwa Allah menuju
Arsy dan menciptakannya dalam keadaan rata, lurus dan teratur.[23]
Menurutut al-Maturidi dalam
memahami sifat-sifat Allah hamper sependapat dengan aliran Mutazilah, yang
mengatakan bahwa antara Dzat dan sifat-sifat Allah tidak terpisah.
·
Melihat
Tuhan
Ada beberapa nash Al-Quran yang
menegaskan bahwa Allah dapat dilihat, seperti firman Allah :
Artinya :
Wajah-wajah (orang-orang mukmin)
pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat (QS.Al-Qiyamah
75:22-23)[24]
Berdasarkan firman tersebut,
maturidi menetapkan bahwa Allah dapat dilihat pada hari kiamat. Ini dikarenakan
pada hari kiamat itu meupakan salah satu keadaan khusus.[25]
Karena pada hari kiamat manusia akan berjumpa atau melihat Allah (bagi
orang-orang yang beriman). Namun dalam hal sifat dan bagaimana bentuk Allah
hanya Dialah yang mengetahui, sebagaimana kita tidak mengetahui kapan
terjadinya hari kiamat.
·
Pelaku
dosa besar
Maturidi mengatakan bahwa orang
mukmin yang berdosa adalah menyerahkan persoalan mereka kepada Allah. Dengan
demikian, orang mukmin berada diantara harapan dan kecemasan. Allah boleh saja
menghukum dosa kecil dan mengampuni dosa besar,[26]
Sebagaimana Allah telah berfirman :
Artinya :
Sesungguhnya Allah tidak akan
mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari
(syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan
Allah, Maka sesungguhnya ia telah berbuat dosa yang besar (QS.An-Nisa 4:48)[27]
Persamaan aliran maturidiyah,
baik Samarkand maupun Bukhara, yakni :
·
Mengenai
pelaku dosa besar
Aliran maturidiyah, baik
Samarkand maupun Bukhara, sepakat bahwa pelaku dosa besar masih tetap mukmin
karena adanya keimanan dalam dirinya. Adapun balasan yang diperolehnya kelak
diakherat tergantung apa yang dilakukannya didunia.[28]
Hal ini kaerena Allah telah
menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya.
Kekal di dalam neraka adalah balasan untuk orang musyrik. Sesuai dengan firman
Allah dalam Al-Quran Surrah An-Nissa:48
·
Mengenai
iman dan kufur
Aliran Maturidiyah Samarkand
berpendapat bahwa iman adalah tashdiq bi al-qalb, bukan semata-mata iqrar
bi al-lisan.[29]
Sesuai dengan (QS.Al-Hujurat 49:14)[30]
Ayat tersebut dipahami sebagai
penegasan bahwa keimanan itu tidak cukup hanya perkataan semata, tanpa diimani
pula oleh kalbu. Apa yang diucapkan oleh lidah dalam bentuk pernyataan iman,
menjadi batal bila hati tidak mengakui ucapan lidah.[31]
·
Mengenai
perbuatan Tuhan
Aliran Maturidiyah Samarkand, berpendapat
bahwa perbuatan Tuhan hanya menyangkut hal-hal yang baik saja. Demikian juga
pengiriman rasul dipandangan Maturidiyah Samarkand sebagai kewajiban Allah.[32]
Aliran Maturidiyah Bukhara
memiliki pandangan yang sama dengan Asyariah, bahwa Tuhan tidak mempunyai
kewajiban. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Bazdawi, Tuhan pasti menempati
janji-Nya.
·
Mengenai
perbuatan Manusia
Maturidiyah Samarkand, adalah
kehendak dan daya manusia dalam arti kata sebenarnya dan bukan dalam arti
kiasan, maksudnya daya untuk berbuat tidak diciptakan sebelumnya, tetapi
bersama-sama dengan perbuatannya. Sedangan maturidiyah bukharah memberikan
tambahan dalam masalah daya. Manusia tidak mempunyai daya untuk melakukan
perbuatan, hanya Allah lah yang dapat
mencipta, dan manusia hanya dapat melakukan perbuatan yang telah diciptakan
Allah bagi-Nya.[33]
Jadi menurut al-maturidi
perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan karena segala sesuatu dalam wujud ini
adalah ciptaan-Nya. Dalam hal ini, Al-Maturidi mempertemukan antara ikhtiar
sebagai perbuatan manusia dan qudrat Tuhan sebagai pencipta perbuatan manusia.[34]
·
Mengenai
sifat-sifat Tuhan
Maturidiyah Bukhara berpendapat
Tuhan tidaklah mempunyai sifat-sifat jasmani. Ayat-ayat Al-Quran yang
menggambarkan Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani haruslah diberi tawil.[35]
Sedangkan golongan Samarkand
mengatakan bahwa sifat bukanlah Tuhan. Dalam menghadapi ayat-ayat yang memberi
gambaran Tuhan bersifat dengan menghadapi jasmani ini. Al-Maturidi mengatakan
bahwa yang dimaksud dengan tangan, muka, mata, dan kaki adalah kekuasaan Tuhan.[36]
·
Kalam
Tuhan
Al-Maturidi membedakan antara
kalam yang tersusun dengan huruf dan bersuara dengan kalam nafsi (sabda yang
sebenarnya atau kalam abstrak). Kalam nafsi adalah sifat qadim bagi Allah,
sedangkan kalam yang tersusun dari huruf dan suara adalah baharu (hadist).
Kalam nafsi tidak dapat kita ketahui hakikatnya bagaimana allah bersifat
dengannya (bila kaifa) tidak diketahui, kecuali dengan suatu perantara.[37]
·
Mengenai
kehendak mutlak Tuhan dan keadilan Tuhan
Menurut Maturidiyah Samarkand,
dibatasi oleh keadilan Tuhan. Tuhan adil mengandung arti bahwa segala
perbuatannya adalah baik dan tidak mampu untuk berbuat buruk serta tidak
mengabaikan kewajiban-kewajiban-Nya terhadap manusia. Adapun Maturidiyah
Bukhara berpendapat bahwa Tuhan memiliki kekuasaan mutlak. Tuhan berbuat apa
saja yang dikehendaki-Nya dan menentukan segala-galanya. Tidak ada yang
menentang atau memaksa Tuhan dan tidak ada larangan bagi Tuhan.[38]
Aliran-aliran Maturidiyah
·
Golongan
Samarkand (al-maturidi)
Yang menjadi golongan ini adalah
pengikut Al-Maturidi sendiri. Golongan ini cenderung ke arah faham Asyariyah
(mutazilah), sebagaimana pendapatnya tentang sifat-sifat Tuhan. Dalam hal
perbuatan manusia, maturidi sependapat dengan Mutazilah, bahwa manusialah yang sebenarnya
mewujudkan perbuatannya. Al-Maturidi berpendapat bahwa Tuhan memiliki
kewajiban-kewajiban tertentu. Menurut maturidi, tuhan mempunyai sifat-sifat,
tuhan mengetahui bukan dengan zatnya melainkan dengan pengetahuannya. Aliran maturidi juga sepaham denga mutazilah
dalam soal al-waid wa al-waid. Bahwa janji dan ancaman tuhan, kelak pasti
terjadi.[39]
·
Golongan
Bukhara (al-bazdawi)
Golongan ini dipimpin oleh Abu
Al-Yusr Muhammad Al-Bazdawi. Dia
merupakan pengikut Maturidi yang penting dan penerus yang baik dalam pemikirannya. Nenek Al-Bazdawi menjadi salah
satu murid Maturidi. Jadi yang dimaksud dengan golongan Bukhara adalah
pengikut-pengikut Al-Bazdawi dalam aliran Al-Maturidiyah. Walaupun sebagai
pengikut aliran Al-Maturidiyah, Al-Bazdawi selalu sefaham dengan maturidi.
Ajaran teologinya banyak dianut oleh umat islam yang bermazhab Hanafi. Dan
hingga saat ini pemikiran-pemikiran Al-Maturidiyah masih hidup dan berkembang
dikalangan umat islam.[40]
Aliran maturidiyah Bukhara lebih
dekat kepada Asyariyah sedangkan aliran Maturidiyah Samarkand dalam beberapa
hal lebih dekat kepada Mutazilah, terutama dalam masalah keterbukaan terhadap
peranan akal.[41]
Urutan-urutan maturidiyah lebih
mendekati golongan Mutazilah, menurut kebebasan pemikirannya, maka dapat diurutkan
sebagai berikut[42] :
·
Aliran
Mutazilah
·
Aliran
Maturidiyah
·
Aliran
Asyariyyah dan
·
Aliran
Ahli Hadist
Karya Aliran Al-Maturidiyah
·
Buku
Tauhid
Buku ini untuk membuktikan
kebenaran pendapatnya, ia menggunakan Al-Quran, hadis dan akal, dan terkadang
memberikan keutamaan yang lebih besar kepada akal.
·
Ta’wilat
Ahli Sunnah
Buku ini berkenaan dengan tafsir
Al-Quran dan didalamnya dijelaskan tentang keyakinan-keyakinan Ahlu Sunnah dan
pandangan-pandangan fikih imam mazhabnya yaitu Abu Hanifah, pada hakikatnya adalah
buku aqidah dan fikih. Buku ini juga merupakan satu paket tafsir Al-Quran dan
buku tersebut mencakup juz terakhir Quran dari surat Munafiqin sampai akhir
Quran.
Al Maqalat, peneliti buku
At-Tauhid berkata bahwa naskah buku ini ada dibeberapa perpustakaan Eropa. Akan
tetapi karya-karya lainnya dan nama-namanya tercantum dibuku-buku terjermahan di
antaranya adalah :
·
Akhdzu
Al Syarai
·
Al
Jadal fi Ushul Al Fiqh
·
Bayan
wa Hum Al Mutazilah
·
Rad
Kitab Al Ushul Al Khomsah lil Bahili
·
Rad
Al Imamah li badzi Al Rawafidz
·
Al
Rad ala Ushu Al Qaramathah
·
Rad
Tahdzib Al Jadal Lil Kabi
·
Rad
wa Aid Al Fisaq lil Kabi
·
Rad
Awail Al Adilah lil Kabi
[1] A.
Hanafi, Pengantar Teologi Islam ( Cet. 1, Jakarta, Pustaka Al Husna Baru Jakarta,
2003), hlm. 167
[2] Abd.
Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam (Jakarta, Logos
Publishing House, 1996), hlm. 207
[3] A.
Hanafi, Op. Cit, hlm. 210
[4] Ibid,
hlm. 211
[5] Ibid,
hlm. 212
[6] Harun
Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta:
UI Press, 1986, hlm. 77
[7]
Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, op. cit, hlm. 124
[8] Harun
Nasution, Teoli Islam, Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Jakarta, UI-Press,
1986), hlm. 76
[9] A.
Hanafi, Pengantar Teologi Islam (Jakarta: Pustaka Husna Baru, 2003), hlm. 168
[10] Ibid,
hlm.210
[11] Abd.
Rahman Dahlan, Op. Cit, hlm.212
[12] Yudian
Wahyu Assmin, Aliran dan Teori Filsafat Islam (Jakarta, Bumi Aksara, 2004),
cet. 3, hlm. 80-81
[13] Ibid,
hlm. 81
[14] Harun
Nasution, Op. Cit, hlm.77
[15] Ibid,
hlm.78
[16]
Harun Nasution, Teologi Islam, hlm. 70
[17] Abd.
Rahman Dahlan,Op. Cit, hlm. 212-213
[18] Dapartermen
Agama Republik Indonesia, Al-Quran dan Terjermahannya (Jakarta: CV
Penerbit J-ART, 2005), hlm. 499
[19] Abd.
Rahman Dahlan,Op. Cit, hlm.218
[20] Ibid,
[21] Ibid,
hlm. 219
[22] Dapartermen
Agama Republik Indonesia, Op. Cit, hlm. 157
[23] Abd.
Rahman Dahlan,Op. Cit, hlm.219
[24] Dapartermen
Agama Republik Indonesia, Op. Cit, hlm. 578
[25] Abd.
Rahman Dahlan,Op. Cit, hlm.220
[26] Ibid,
hlm. 222
[27] Dapartermen
Agama Republik Indonesia, Op. Cit, hlm. 86
[28] Abdul
Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hlm. 138
[29] Abdul
Rozak, Op. Cit, hlm. 149
[30] Dapartermen
Agama Republik Indonesia, Op. Cit, hlm. 517
[31] Abdul
Rozak, Op. Cit, hlm. 149
[32]
Ibid, hlm. 157
[33] Ibid,
hlm. 166
[34]
Harun Nasution, Teologi Islam, hlm. 127
[35]Abdul
Rozak, Op. Cit, hlm. 177-1178
[36] Ibid,
hlm. 178
[37]
Harun Nasution, Teologi Islam, hlm. 129
[38]Abdul
Rozak, Op. Cit, hlm 187
[39]
Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kakam (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm.124
[40]
Novan Ardy Wiyani, M.Pd.I, Ilmu Kalam (Bumiayu, 22 Januari 2013), hlm 51-60
[41]
Muhammad Tholhah Hasan, swaja dalam persepsi dan tradisi NU
[42] A.
Hanafi M.A, Theology Islam (Ilmu Kalam), Penerbit Bulan Bintang, Cet 1,
(Yogyakarta: 8 Juni 1962), hlm. 80